Liputan6.com, Jakarta Lyon baru saja mengalami salah satu momen tergelap dalam sejarah mereka. Klub asal Prancis itu divonis degradasi ke Ligue 2 karena kondisi keuangan yang memburuk.
Keputusan ini diambil oleh DNGC, badan pengawas finansial sepak bola Prancis, setelah pertemuan yang gagal meyakinkan mereka. Padahal, Lyon pernah menjadi simbol kekuatan sepak bola Prancis pada awal 2000-an.
Dulu, mereka adalah raja tak terbantahkan. Kini, mereka harus merangkak kembali dari kasta kedua. Transformasi ini begitu kontras, mengingat betapa hebatnya mereka di masa lalu.
Misi Aulas dan Kebangkitan Lyon
Segalanya berubah sejak Juni 1987, ketika Jean-Michel Aulas mengambil alih klub. Ia datang dengan visi besar: membawa Lyon ke Divisi 1 dalam empat tahun lewat proyek ambisius bertajuk OL – Europe.
Aulas memberi keleluasaan kepada pelatih Raymond Domenech untuk merekrut siapa pun yang dianggap tepat. Hasilnya, promosi langsung dan tiket ke UEFA Cup menjadi awal dari segalanya.
Namun, prestasi stagnan membuat Domenech digantikan Jean Tigana yang langsung membawa Lyon finis kedua pada musim 1994–1995. Tanda-tanda kebangkitan mulai terlihat dari sini.
2002–2008: Era Keemasan yang Tiada Tanding
Musim panas 2021, seorang gelandang dinamis dan spesialis set-piece asal Brasil ditransfer ke Lyon. Namanya, Juninho Pernambucano. Kehadirannya di Stade Gerland dianggap sebagai katalis utama dari dominasi luar biasa Lyon.
Gelar pertama Ligue 1 akhirnya datang pada 2002, sekaligus memulai rekor nasional tujuh gelar beruntun. Saat itu, mereka menaklukkan Lens 3-1 di laga penentu, dan sejak itu muncul istilah DNA Lyon—mental pantang menyerah yang terus menjadi identitas klub.
Musim berikutnya, meski kehilangan Jacques Santini yang melatih timnas, Paul Le Guen sukses mempertahankan gelar. Sistem 4-2-3-1 dan kembalinya Sonny Anderson memperkuat dominasi OL.
Namun, ada duka yang menyelimuti saat Marc-Vivien Foe meninggal dunia akibat serangan jantung pada 26 Juni 2003. Sebagai penghormatan, nomor punggung 17 yang dikenakannya dipensiunkan.
Lini Produksi Bintang dan Transisi Tanpa Guncangan
Paul Le Guen dikenal jago membina pemain muda, dan strategi itu ia terapkan di Lyon. Nama-nama seperti Michael Essien, Florent Malouda, Peguy Luyindula, dan Hatem Ben Arfa mulai bersinar.
Musim 2004–2005, mereka unggul 12 poin dan tak terbendung hingga meraih gelar keempat. Saat Le Guen mundur, Gerard Houllier masuk membawa era baru tanpa mengganggu stabilitas.
Houllier merekrut John Carew, Fred, Pedretti, dan Tiago sebagai pengganti Essien yang hijrah ke Chelsea dengan saga transfer panjang. Karim Benzema dan Ben Arfa pun mulai sering menghiasi tim utama.
Puncak Dominasi dan Awal Kemunduran
Musim 2005–2006 jadi puncak segalanya: 15 laga tanpa kalah, kemenangan 3-0 atas Real Madrid di Liga Champions, dan gelar kelima diraih dengan keunggulan 15 poin. Meski banyak pemain keluar-masuk, mesin kemenangan tetap berjalan.
Musim berikutnya, gelar keenam datang, tapi Liga Champions masih jadi mimpi yang sulit digapai. Aulas pun mengganti Houllier dengan Alain Perrin, berharap gebrakan baru di Eropa.
Perrin berhasil membawa Lyon meraih gelar ketujuh dan Coupe de France, tapi konflik internal menghantui. Benzema tampil gemilang dengan 31 gol, tapi kisruh antar pemain dan masalah manajemen jadi alasan pemecatan Perrin.