Liputan6.com, Jakarta Atletico Madrid harus menelan pil pahit setelah tersingkir dari Piala Dunia Antarklub 2025 di babak grup. Tim asuhan Diego Simeone sebenarnya menutup fase grup dengan kemenangan 1-0 atas Botafogo, namun hasil itu tak cukup membawa mereka ke babak 16 besar.
Dalam klasemen akhir Grup B, Atletico finis di posisi ketiga dengan enam poin, sama dengan PSG dan Botafogo. Namun, selisih gol menjadi penentu utama, dan kekalahan telak 0-4 dari PSG pada laga pembuka menjadi beban yang tak terampuni bagi tim asal Spanyol ini.
Harapan tinggi yang dibawa sejak tiba di Amerika Serikat kini berubah menjadi kekecewaan mendalam. Simeone membawa skuad bertabur nama besar, termasuk Julian Alvarez dan Antoine Griezmann, namun gagal menunjukkan konsistensi performa yang dibutuhkan di turnamen sekelas ini.
Simeone Salahkan Wasit, tapi Masalah Ada di Dalam Tim
Diego Simeone tidak menutupi rasa frustrasinya usai kemenangan kontra Botafogo. Dalam wawancara pasca pertandingan, ia menyampaikan kebanggaannya atas usaha para pemain, tapi juga mengkritik keputusan wasit yang menurutnya merugikan Atletico.
“Saya bangga dengan kerja para pemain. Kami menang dua dari tiga pertandingan, tapi tetap tersingkir. Enam poin bukan hasil yang buruk, tapi pertandingan lawan PSG menghukum kami,” ujar Simeone kepada DAZN.
“Setiap keputusan wasit saat itu melawan kami, dan hari ini pun penalti kami dianulir setelah tinjauan VAR.”
Meski demikian, kritik terhadap wasit tak cukup menutupi fakta bahwa Atletico memperlihatkan kelemahan serius di lini pertahanan dan kreativitas serangan. Kekalahan besar dari PSG menjadi bukti paling nyata bahwa masalah utama berada pada struktur permainan mereka sendiri.
Simeone, yang kini memasuki musim ke-14 sebagai pelatih kepala, kembali mendapat sorotan tajam. Dengan status sebagai manajer dengan gaji tertinggi di Eropa, publik mulai bertanya: masihkah ia mampu mengangkat tim ini ke level tertinggi?
Krisis Identitas Atletico: Pertahanan Rapuh, Serangan Mandek
Penampilan Atletico saat menghadapi Botafogo cukup dominan dari segi penguasaan bola, namun tetap minim peluang berbahaya. Antoine Griezmann menjadi pahlawan lewat satu-satunya gol, sementara Jan Oblak berjibaku menjaga keunggulan tim.
Botafogo tampil solid dan terorganisasi, menyulitkan Atletico untuk menembus kotak penalti. Tanpa kreasi berarti dari lini tengah, serangan mereka seringkali buntu. Hal ini memperkuat sinyal bahwa Atletico belum mampu menemukan bentuk terbaik mereka pasca era kejayaan beberapa tahun lalu.
Masalah ini bukan hal baru. Dalam empat musim terakhir tanpa trofi, Atletico kerap kalah karena buruknya antisipasi serangan dari sisi sayap dan kurangnya visi di sepertiga akhir lapangan. Kelemahan itu tereskpos habis-habisan saat dibantai PSG di laga pembuka grup.