Sejak bergulirnya Omnibus Law, dunia usaha industri di Indonesia memasuki babak baru: regulasi yang lebih ringkas, perizinan yang dipangkas, dan digitalisasi proses perizinan. Namun, perubahan itu belum cukup. Maka, lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) — sebuah penyempurnaan strategis untuk menjawab tantangan industrialisasi modern.
Mengapa ini penting? Karena industri nasional tengah berjuang dalam bayang-bayang ketidakpastian global, gejolak harga bahan baku, dan persaingan dengan produk impor. Dalam konteks ini, simplifikasi dan kepastian hukum menjadi napas hidup sektor industri, terutama bagi UMKM industri yang selama ini terseok-seok mengurus legalitas.
PP 28 Tahun 2025 memberikan kepastian melalui pendekatan risk-based licensing, di mana semakin rendah risiko suatu usaha, semakin sederhana izin yang dibutuhkan. Untuk industri manufaktur skala kecil, misalnya, cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan pernyataan mandiri di sistem Online Single Submission (OSS), tanpa perlu lagi izin teknis yang berlapis-lapis.
Peraturan ini juga mengintegrasikan berbagai aspek penting, seperti:
• Kesesuaian ruang (KKPR),
• Persetujuan lingkungan (SPPL, UKL-UPL, Pertek, dan Amdal),
• Standar bangunan (PBG dan SLF), dan
• Sertifikasi standar produk
PP 28 Tahun 2025 mengelompokkan perizinan berusaha menjadi tiga pilar utama yang saling terintegrasi, yaitu Persyaratan Dasar, Perizinan Berusaha (PB), dan Perizinan Berusaha untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB UMKU). Persyaratan Dasar mencakup tiga aspek penting: Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Persetujuan Lingkungan (PL), serta Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Setelah persyaratan dasar terpenuhi, pelaku usaha akan mendapatkan PB sebagai legalitas utama untuk memulai dan menjalankan usaha.
Sementara itu, jika jenis kegiatan usahanya membutuhkan dukungan tambahan seperti sertifikasi produk atau izin operasional tertentu, maka diwajibkan pula memiliki PB UMKU. Penyederhanaan ini dimaksudkan untuk menciptakan proses perizinan yang lebih efektif, sederhana, dan proporsional terhadap risiko usaha.
Reformasi Perizinan Usaha Industri
Saat dunia usaha Indonesia memasuki era baru dengan diberlakukannya PP 28 Tahun 2025, muncul harapan segar bagi para pelaku industri—khususnya pelaku kecil dan menengah—untuk dapat tumbuh tanpa beban regulasi yang membelit. Namun, seberapa jauh reformasi ini menjawab tantangan global dan apakah kita telah sejajar dengan negara lain di Asia dan dunia?
PP 28 Tahun 2025 menyederhanakan perizinan usaha dengan pendekatan berbasis risiko. Usaha dengan risiko rendah cukup memiliki NIB dan pernyataan mandiri, sedangkan usaha berisiko tinggi tetap memerlukan perizinan teknis dan lingkungan yang ketat. Sistem OSS menjadi tulang punggung, mengintegrasikan berbagai izin dari pusat dan daerah dalam satu platform elektronik.
Langkah ini patut diapresiasi. Dalam dunia industri yang bergerak cepat, waktu adalah biaya. Dan PBBR berupaya memangkas waktu dan birokrasi.