Eks Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto, dinyatakan bebas bersyarat setelah mendekam delapan tahun di penjara. Politikus senior Partai Golkar yang terjerat kasus korupsi e-KTP itu bebas bersyarat dari dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 16 Agustus 2025.
Pria yang disapa Setnov ini dihukum 15 tahun penjara pada 24 April 2025. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai Setya terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013. Namun, di tingkat peninjauan kembali, vonis itu diubah menjadi 12,5 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti Rp 49.052.289.803 atau Rp 49,052 miliar.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ketua majelis Surya Jaya dengan hakim anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono serta panitera pengganti Wendy Pratama Putra membacakan korting hukuman Setnov pada Rabu, 4 Juni 2025.
Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pemasyarakatan Jawa Barat Kusnali mengatakan Setya bebas bersyarat karena peninjauan kembali yang diajukan dikabulkan dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun. Ia menegaskan pemberian bebas bersyarat kepada Setya telah sesuai dengan aturan. Sebab, Setya telah menjalani dua pertiga masa pidana dari total pidana penjara 12,5 tahun.
Kusnali mengatakan pembebasan bersyarat kepada Setnov sudah sesuai dengan pengusulan program pembebasan bersyarat yang disetujui melalui sidang Ditjenpas pada 10 Agustus 2025. Pengusulan itu untuk merekomendasikan Setnov mendapat persetujuan lanjutan dari pimpinan.
Pertimbangan pembebasan bersyarat Setnov telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif berdasarkan pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 telah memenuhi persyaratan berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan risiko.
Persetujuan rekomendasi diberikan bersama 1.000 usulan program integrasi warga binaan seluruh Indonesia lainnya. Namun, kendati bebas bersyarat, Setya masih harus wajib lapor ke lapas Sukamiskin.
Berdasarkan arsip Tempo, Setya merupakan lulusan SMA 9 Jakarta—kini SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan. Tamat sekolah, pria kelahiran Bandung, 12 November 1955, itu melanjutkan kuliah di Surabaya. Di Kota Pahlawan itu, Setya berjualan beras dan madu di Pasar Keputren, Surabaya, untuk membiayai hidup dan kuliahnya di jurusan akuntansi Universitas Widya Mandala. Dia juga pernah bekerja sebagai salesman di sebuah dealer mobil hingga melenggang di atas catwalk membawakan berbagai model busana.
Saat kembali ke Jakarta pada 1979, Setya menumpang di rumah keluarga politikus Partai Demokrat, Hayono Isman, yang merupakan kawan karibnya semasa SMA, di Jalan Menteng, Jakarta Pusat. Bergelar sarjana muda akuntansi, Setya meneruskan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti. Ia tetap kerja serabutan demi membiayai kuliahnya, seperti mencuci mobil, membuka jasa fotokopi, hingga berkongsi dagang dengan Hayono
Setya memulai kiprahnya di bidang politik sebagai kader Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957 pada 1974. Kosgoro adalah sayap organisasi pemuda Partai Golkar.
Setya pun menjadi anggota Golkar dan terpilih sebagai anggota DPR pada 1999. Sejak itu ia melenggang ke Senayan enam periode berturut-turut. Kariernya di Golkar juga moncer. Ia terpilih sebagai ketua umum partai berlambang beringin itu dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, 17 Mei 2016.
Sebagai ketua umum, Setnov pernah mendamaikan dualisme Kosgoro 1957 pada 19 Januari 2017. Saat itu Kosgoro 1957 diterpa dualisme antara pimpinan Agung Laksono dan Aziz Syamsuddin. Aziz menyatakan diri terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Kosgoro 1957 melalui Musyawarah Besar Luar Biasa di Bali pada Januari 2016. Padahal ketika itu Agung yang masih menjabat Ketua Umum Kosgoro hingga tahun 2018 menolak mengakui kepemimpinan Aziz.
Novanto berujar rekonsiliasi salah satu organisasi sayap Partai Golkar itu dapat tercapai setelah dirinya beberapa kali menghubungi Agung Laksono dan Aziz Syamsuddin.
Setya terkenal lincah sebagai politikus. Namanya berkali-kali terseret sejumlah kasus korupsi sebelum kasus e-KTP. Salah satunya kasus pengalihan hak piutang (cassie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara Rp 904,64 miliar. Kasus ini meletup setelah Bank Bali mentransfer Rp 500 miliar lebih kepada PT Era Giat Prima milik Setnov, Djoko S. Tjandra, dan Cahyadi Kumala.
Setnov bebas setelah kasus ini kemudian mendapatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari kejaksaan pada 18 Juni 2003.
Kasus lain adalah penyelundupan beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton pada 2003. Setya bersama rekannya di Golkar, Idrus Marham, diduga sengaja memindahkan 60 ribu ton beras yang diimpor Inkud, dan menyebabkan kerugian negara Rp 122,5 miliar. Keduanya dilaporkan pada Februari-Desember 2003 telah memindahkan dari gudang pabean ke gudang nonpabean. Padahal bea masuk dan pajak beras itu belum dibayar. Setya hanya diperiksa Kejaksaan Agung pada 27 Juli 2006.
Nama Setnov juga terseret kasus penyelundupan limbah beracun (B-3) di Pulau Galang, Batam, pada 2006. Setya disebut-sebut berperan sebagai negosiator dengan eksportir limbah di Singapura.
Dalam kasus korupsi proyek PON Riau 2012, Setya diduga mengatur aliran dana ke anggota Komisi Olahraga DPR untuk memuluskan pencairan anggaran PON dalam Anggaran Pendapatan dan Bbelanja Negara. Ia pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Juni 2012 sebagai saksi karena pernah ditemui Gubernur Riau Rusli Zainal untuk membahas PON Riau.
Setya juga diperiksa untuk tersangka Rusli Zainal pada 19 Agustus 2013. Rusli merupakan Gubernur Riau yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perubahan peraturan daerah untuk penganggaran PON. Politikus Partai Golkar itu membantah semua tuduhan dan mengaku tak tahu soal kasus PON.
Kasus terakhir yang membuat Setya dijebloskan ke penjara adalah kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) pada 2013.
Sengkarut kasus proyek e-KTP cukup panjang. Awalnya, Setya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 17 Juli 2017. Namun status tersangka atas dirinya tidak berlangsung lama.
Pada 29 September 2017, status tersangka itu dibatalkan hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar. Setya memenangi sidang praperadilan dan putusan hakim menyatakan status tersangka atas dirinya tidak sah.
Tak berhenti, KPK membuka penyelidikan baru untuk pengembangan perkara e-KTP. Dalam proses penyelidikan ini KPK menetapkan kembali Setya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada 10 November 2017. Setya pun kembali menggugat keabsahan status tersangka atas dirinya untuk kedua kalinya.
Pada Rabu, 13 Desember 2017, sidang putusan praperadilan Setya akan digelar. Sidang itu berpacu dengan sidang perdana pokok perkara Setya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga akan digelar pada hari yang sama. Ketika hakim mengetok palu memulai sidang perdana pokok perkara Setya, otomatis sidang praperadilan pun gugur.
Pengadaan proyek e-KTP terjadi pada kurun waktu 2011-2012 saat Setya menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Ia diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun agar disetujui anggota DPR. Selain itu, Setnov diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Setya diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Setelah ditetapkan tersangka pada penyelidikan pertama, Setnov dua kali mangkir panggilan pemeriksaan dengan alasan sakit pada 11 September dan 18 September 2017.
KPK kembali menetapkan Setya menjadi tersangka e-KTP pada 10 November 2017 setelah gugatan praperadilan Setnov dikabulkan. Pada 15 November 2017, KPK menjemput paksa Setya Novanto karena sudah tiga kali mangkir saat dipanggil KPK. Enam pegawai KPK menyambangi Setya Novanto di kediamannya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Melawai, Jakarta Selatan pada Rabu malam, 15 November 2017. Para penyidik menggeledah rumah Setya hingga dini hari. Namun Setya tidak ada di rumah dan tidak diketahui keberadaannya hingga ditetapkan sebagai daftar pencarian orang (DPO).
Pada 16 November 2017, Setnov dikabarkan masuk RS Medika Permata Hijau setelah mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau, Jakarta Barat. Ia mangkir pemanggilan dengan alasan dirawat di rumah sakit.
Pengacaranya saat itu, Fredrich Yunadi, menyebut Setya mengalami benjol di bagian kepala gara-gara insiden tersebut. Ia mengatakan benjolan di kepala Setnov hingga seukuran bakpao.
KPK akhirnya menahan Setnov pada 17 November 2017. Namun, karena sakit, ia dibantarkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, memvonis Setya Novanto dengan hukuman 15 tahun bui pada 24 April 2018.
Setya sempat lari dari tahanan. Pada 10 Juni 2019, Setya mengeluh sakit pada lengannya. Ia pun dirujuk untuk diperiksa di Rumah Sakit Santosa, Bandung, Jawa Barat. Sehari kemudian, Setnov diberangkatkan ke rumah sakit tersebut. Ia dikawal petugas lembaga pemasyarakatan dan Kepolisian Sektor Arcamanik. Di sana, Setya dirawat inap.
Pada Jumat, 14 Juni 2019, Setnov dijadwalkan keluar dari rumah sakit. Setya berdalih akan membayar rekening di lantai dasar dan meminta pengawal menung...