Oleh : Dr. Indra Gunawan, Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia dan Anggota Badan Pelaksana BPKH 2022-2027
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bayangkan sebuah kapal yang telah berlayar arungi ujian di tahun ketujuh, melewati badai dan ombak bergemuruh, namun tetap kokoh mantap berlabuh. Itulah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang pada 31 Juli 2025 merayakan ulang tahun ke delapan dengan tujuh kali opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) berturut-turut dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Angka tujuh, yang keramat dalam tradisi Islam, bukan sekadar simbol—ini adalah cerminan keberkahan dari tata kelola dana haji yang transparan, akuntabel, dan penuh integritas. Angka tujuh, yang dalam Alquran disandingkan dengan keberkahan—tujuh lapis langit hingga tujuh putaran thawaf—bukan sekadar simbol. Ini adalah cerminan amanah umat yang dikelola dengan transparansi, integritas, dan visi jauh ke depan.
Fondasi Moral, Kekuatan, dan Keberkahan
Tujuh tahun WTP bukan hadiah yang jatuh dari langit. Ini adalah buah dari kerja keras tujuh pimpinan Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH, yang menjaga amanah umat dengan prinsip syariah. Pada 2024, dana kelolaan BPKH mencapai Rp171,64 triliun, melampaui target 101 persen, sementara nilai manfaat Rp11,54 triliun—naik dari Rp10,92 triliun di 2023—mendukung jemaah haji dan tujuh asnaf penerima manfaat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan umat. Distribusi manfaat melalui Virtual Account (VA) sebesar Rp2,3 triliun untuk jemaah tunggu dan Rp230 miliar untuk program kemaslahatan menunjukkan komitmen BPKH dalam menciptakan dampak nyata.
Alasan Sukuk Menjadi Instrumen Pilihan
UU No. 34/2014 mengatur pengelolaan dana haji, dengan Pasal 10 (f) dan Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) mewajibkan BPKH mendistribusikan nilai manfaat secara berkala ke rekening virtual jemaah berdasarkan persetujuan DPR. Namun, ketiadaan pasal release and discharge yang mengancam tanggung renteng atas kerugian investasi BPKH membatasi mitigasi risiko hukum, terutama dalam menghadapi potensi dua musim haji pada 2027, yang dapat menggerus biaya total haji hingga Rp42 triliun. Dengan kuota haji Indonesia 2025 sebanyak 221.000, kerangka hukum adaptif diperlukan untuk menjaga keadilan dan akuntabilitas. Di sinilah investasi pada Sukuk dengan pola Liability Driven Investment ala BPKH menjadi kunci untuk menjawab tantangan sekaligus memperluas keberkahan. Sukuk, sebagai instrumen keuangan syariah yang mewakili kepemilikan aset (underlying asset), memiliki sejumlah keunggulan dalam kerangka investasi berkelanjutan dan prudent, terutama jika dibandingkan dengan instrumen konvensional non-asset-based. Keunggulan tersebut mencakup:
1. Risiko Lebih Terukur: Karena sukuk berbasis aset nyata (asset-backed atau asset-based), maka risikonya dapat dianalisis melalui eksposur atas aset tersebut dan struktur transaksi yang jelas. Dalam sukuk sovereign (pemerintah), risiko kredit cenderung sangat rendah (risk-free) karena dijamin oleh negara, terutama jika diterbitkan oleh otoritas fiskal yang memiliki kinerja fiskal kuat. Sukuk dengan rating tinggi (seperti AAA) menunjukkan bahwa issuer memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam memenuhi kewajiban finansial, sehingga probabilitas gagal bayar sangat kecil.
2. Cashflow Terjaga dan Dapat Diestimasi: Salah satu keunggulan utama sukuk adalah struktur pembayaran (kupon atau imbal hasil) yang bersifat periodik dan ditetapkan dalam akad awal (ijarah, mudharabah, wakalah, dsb). Hal ini memberikan kepastian arus kas (predictable cashflow) kepada investor, yang sangat penting dalam manajemen portofolio institusional seperti dana haji, atau sovereign halal funds. Dalam sukuk ijarah, misalnya, arus kas berasal dari sewa aset yang telah dikontrak, sehingga nilainya stabil.
3. Tenor dan Skema Entry-Exit Lebih Pasti:Sukuk memiliki jangka waktu (tenor) yang jelas dan disepakati di awal kontrak. Hal ini memungkinkan investor menyusun strategi likuiditas dan maturity matching yang lebih akurat. Untuk investor institusional yang memiliki horizon investasi panjang (long-term liabilities), kepastian tenor ini sangat membantu dalam menjaga solvabilitas dan ketahanan aset terhadap volatilitas pasar. Selain itu, pasar sekunder sukuk yang semakin aktif — baik domestik seperti di Indonesia Stock Exchange (IDX) maupun internasional seperti di London Stock Exchange (LSE) dan Nasdaq Dubai — memungkinkan adanya mechanism of exit yang fleksibel dan sesuai syariah, melalui mekanisme jual-beli sukuk di pasar terbuka.
4. Jaminan dari Sovereign atau Pihak dengan Rating Tinggi: Sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah (sukuk negara/sovereign sukuk) memiliki sifat quasi risk-free, yang berarti sangat aman dari sisi risiko gagal bayar. Bahkan dalam sukuk korporasi pun, adanya jaminan atau underwriting dari lembaga dengan peringkat kredit tinggi (investment grade atau AAA-rated) meningkatkan kepercayaan dan minat investor.Hal ini juga selaras dengan prinsip “al-kharaj bi al-dhaman” dalam fikih muamalah, yang menyatakan bahwa keuntungan halal didapat karena adanya tanggung jawab atas risiko. Dalam sukuk, jika risikonya dijamin oleh entitas kredibel (seperti pemerintah), maka wajar jika investor menerima keuntungan yang relatif lebih rendah, namun stabil dan halal.
5. Integrasi dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs): Sukuk juga semakin populer sebagai instrumen pembiayaan proyek berkelanjutan seperti Green Blue, Orange Sukuk, serta Waqf-Linked Sukuk. Instrumen-instrumen ini tidak hanya memenuhi prinsip syariah dan manajemen risiko yang baik, tetapi juga memiliki impact investing orientation yang sesuai dengan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance). Dalam konteks ini, sukuk tidak hanya menjanjikan keuntungan duniawi (maddiyah), tetapi juga nilai ukhrawi karena berkontribusi pada pembangunan yang adil dan lestari.
Penguatan Modalitas dan Mitigasi Risiko
Untuk menghadapi tantangan ini, BPKH perlu memperkuat modalitas melalui Dana Abadi Umat (DAU), yang dapat digunakan untuk cadangan wajib guna mengatasi risiko likuiditas. Pengelolaan risiko hukum sesuai standar industri investasi, seperti melalui akad syariah (Fatwa DSN-MUI No. 123/2018 tentang rekening titipan), dan pelindungan kelembagaan melalui kerja sama dengan regulator (OJK, Kementerian Agama) akan memastikan fleksibilitas investasi. Dalam konteks ini, penguatan atas modalitas BPKH minimal dari Dana Abadi Umat (DAU) adalah usulan praktis agar BPKH mampu mengelola risiko hukum sesuai dengan industri investasi, perlindungan kelembagaan, serta fleksibilitas dalam pengelolaan investasi yang menjadi isu krusial menjawab momok pasal tanggung renteng atas kerugian dalam pasal 53 UU 34 tahun 2014. Termasuk di dalamnya pengaturan cadangan wajib, skema distribusi nilai manfaat yang berbasis individu sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2014, khususnya Pasal 10 (f) dan Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3), dimana BPKH diberikan tanggung jawab untuk mengelola nilai manfaat dari setoran haji dengan mendistribusikan nilai manfaat tersebut secara berkala ke rekening virtual jemaah haji berdasarkan persentase yang disetujui oleh DPR. Hal ini memberikan keadilan dan manfaat nyata bagi semua jemaah, baik yang menunggu antrean maupun yang telah berangkat. Ke depan, BPKH harus mampu membawa dampak serta dukungan perluasan ekosistem layanan jamaah.
Semua ini menjadi pondasi agar BPKH mampu bergerak lebih lincah dalam memanfaatkan peluang investasi global yang menuntut kecepatan, kepastian, dengan mitigasi risiko yang matang. Maka dari itu, ESG Sukuk hadir bukan sekadar sebagai alternatif instrumen keuangan, melainkan sebagai perwujudan visi jangka panjang BPKH untuk menghadirkan keberkahan yang berkelanjutan—menjawab kebutuhan umat, menjaga nilai syariah, sekaligus menapaki panggung investasi internasional dengan penuh integritas.
Investasi ESG BPKH: Sukuk Hijau, Biru, hingga Oranye
Investasi ESG BPKH adalah gelombang baru yang tak hanya ada cuan yang merekah, tetapi juga acuan kehidupan penuh berkah. BPKH merupakan pioneer investasi pada kelas instrumen Surat Berharga berbasis ESG dengan gradasi warna yang semakin bervariasi di Indonesia, yakni Sukuk Hijau, Biru dan Oranye. Sukuk Hijau mendanai proyek ramah lingkungan seperti pembangkit listrik tenaga surya atau pertanian berkelanjutan, mengurangi jejak karbon dan mendukung visi Indonesia Net Zero 2060. Sukuk Biru melindungi laut Indonesia—yang menyumbang 17 persen wilayah maritim dunia—melalui konservasi pesisir dan pengelolaan sumber daya laut. Sukuk Oranye, terinspirasi SDG 5 PBB, memberdayakan perempuan melalui program seperti Mekaar Syariah PNM, yang telah menjangkau jutaan pengusaha mikro perempuan [IIX, 2024]. Islamic Development Bank (IsDB) pada 2024 menerbitkan Sukuk senilai 1,25 miliar dolar AS dengan imbal hasil 4,047 persen, menarik lebih dari 100 investor global
Data 2024 menunjukkan pasar ESG Sukuk global mencapai 15,2 miliar dolar AS, naik 14 persen dari 2023. Di kawasan GCC seperti Arab Saudi dan UEA, Sukuk Hijau menyumbang lebih dari 50 persen total ESG Sukuk, sementara Indonesia dan Malaysia bersama-sama menyumbang 40 persen [Fitch Ratings, 2024]. Islamic Development Bank (IsDB) pada 2024 menerbitkan Sukuk Berkelanjutan senilai 1,25 miliar dolar AS dengan imbal hasil 4,047 persen, menarik lebih dari 100 investor global, membuktikan selera pasar yang kuat untuk in...