Jakarta (ANTARA) - Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai potensi boncos penerimaan negara hingga Rp25 triliun per tahun akibat perubahan status batu bara menjadi barang kena pajak dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bukan sekadar soal teknis perpajakan.
Angka tersebut merepresentasikan arus restitusi pajak pertambahan nilai yang melonjak tajam setelah batu bara dikenai PPN, terutama karena sebagian besar produksi nasional ditujukan untuk ekspor dengan tarif PPN nol persen.
Isu yang diangkat Purbaya bahwa UU Cipta Kerja bisa memicu “kerugian” fiskal Rp25 triliun lewat mekanisme restitusi PPN pada batu bara adalah pemicu yang tepat untuk menuntut revisi teknis dan audit administratif.
Namun diskursus yang benar-benar matang tidak boleh berhenti di angka Rp25 triliun saja. Itu harus diperluas ke soal seberapa besar beban eksternal yang diciptakan oleh ekspansi ekspor batu bara, dan bagaimana kebijakan fiskal yang lebih cerdas dapat menyeimbangkan antara penerimaan negara, kesejahteraan masyarakat, dan tanggung jawab iklim.
Dalam struktur PPN, eksportir berhak mengkreditkan dan meminta kembali pajak masukan atas seluruh biaya produksi, pengangkutan, dan jasa pendukung. Pada industri dengan skala besar seperti batu bara, nilai PPN masukan ini sangat signifikan. Ketika volume ekspor tinggi, restitusi yang dibayarkan negara juga membesar.
Dalam paparan pemerintah di DPR, besaran restitusi tahunan dari subsektor ini diperkirakan mencapai sekitar Rp25 triliun, sebuah angka yang jika berulang setiap tahun menjadi beban struktural APBN.
Besaran ini harus dibaca dalam konteks nasional. Nilai Rp25 triliun setara dengan hampir seperlima pagu belanja bantuan sosial reguler, atau mendekati total anggaran pendidikan satu provinsi besar dalam setahun.
Dengan kata lain, isu restitusi ini bukan soal akuntansi semata, melainkan soal alokasi sumber daya publik, dan dalam konteks inilah wacana pengenaan bea keluar batu bara kembali mengemuka disampaikan oleh Pemerintah sebagai instrumen untuk menambal celah fiskal sekaligus memperbaiki paradoks fiskal yang selama ini terjadi dalam rangka optimalisasi dan pengelolaan hasil tambang batu bara secara berkelanjutan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.





























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5328603/original/087840900_1756261928-szabo-viktor-UfseYCHvIH0-unsplash.jpg)









