Liputan6.com, Jakarta - Kanker paru masih menjadi salah satu penyakit dengan angka kematian tertinggi di Indonesia. Data global tahun 2022 mencatat, terdapat 2,4 juta kasus baru kanker paru-paru di dunia. Angka ini menyumbang 12,4 persen dari seluruh kasus kanker serta 18,7 persen dari total kematian akibat kanker.
Di Indonesia, kanker paru menyumbang 9,5 persen dari seluruh kasus kanker dan menyebabkan 14,1 persen kematian. Meski jumlahnya tinggi, akses terhadap obat-obatan inovatif masih sangat terbatas. Dari 460 obat baru yang diluncurkan secara global dalam periode 2012–2021, hanya 9 persen yang tersedia di Indonesia.
Keterlambatan akses ini juga menjadi persoalan serius. Rata-rata, obat kanker inovatif baru bisa diakses masyarakat hampir empat tahun setelah dirilis secara global, dan butuh waktu hingga enam tahun untuk masuk ke pembiayaan publik.
Kondisi ini membuat Indonesia tertinggal dalam upaya penyelamatan nyawa pasien.
"Pasien ini bukan sekadar angka, kami adalah manusia yang memiliki hak atas layanan kesehatan adil dan inklusif," ujar Ketua Umum Cancer Information & Support Center (CISC), Ariyanthi Baramuli Putri, dalam peringatan 'Bulan Kanker Paru Sedunia' di Jakarta Pusat pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Dia menegaskan pentingnya melibatkan pasien dalam setiap pengambilan keputusan terkait terapi.
Harapan Pasien: Obat Lebih Mudah Diakses
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan kanker paru di Indonesia adalah minimnya ketersediaan obat-obatan inovatif. Meski pilihan terapi baru terus berkembang di dunia internasional, hanya sebagian kecil yang bisa diakses pasien di Indonesia.
Akibatnya, pasien kerap harus menunggu bertahun-tahun sebelum obat tersebut masuk ke dalam sistem pembiayaan publik. Banyak penyintas akhirnya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan perawatan terbaik di saat yang paling dibutuhkan.
Pasien kanker paru, Patricia Susanna, yang terdiagnosis sejak 2022, menceritakan perjuangannya menghadapi keterbatasan tersebut. "Saya berharap akses obat semakin mudah di Indonesia, karena banyak obat baru yang sudah dipakai di luar negeri tapi belum tersedia di sini. Padahal kami butuh itu untuk tetap bertahan," ujarnya.
Suara Pasien Harus Didengar
Reformasi sistem kesehatan dinilai mendesak agar kebijakan tidak hanya berbasis pada ketersediaan anggaran, tapi juga memperhatikan hak-hak pasien.
Para penyintas kanker paru menekankan, pasien berhak mendapatkan edukasi, layanan yang merata, serta akses pada obat-obatan inovatif.
Selama ini, keputusan sering kali diambil sepihak tanpa melibatkan pasien yang justru merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut.
"Kami ingin suara pasien didengar dalam proses kebijakan. Jangan sampai keputusan hanya datang dari satu pihak, tanpa melibatkan pasien yang merasakan langsung perjuangan ini," kata salah satu perwakilan penyintas, Rachmayunila.
Peran Komunitas Pasien
Selain menuntut kebijakan yang lebih berpihak, komunitas pasien kanker paru juga aktif memberikan dukungan nyata.
Cancer Education Community (CEC) Paru, misalnya, tidak hanya fokus pada edukasi seputar kanker paru, tapi juga menyediakan dukungan psikologis, rumah singgah, hingga program navigasi pasien di rumah sakit.
Bagi pasien baru, keberadaan komunitas ini sangat membantu karena prosedur pengobatan kerap terasa rumit dan membingungkan.
"Kami ada untuk saling menguatkan. Dari rumah singgah, support group, sampai advokasi, semua demi memastikan pasien tidak sendirian dalam menghadapi kanker paru," kata Yanthi.
Dukungan moral dan praktis ini menjadi penopang penting, mengingat kanker paru termasuk penyakit katastrofik yang tidak bisa ditangani sendiri oleh pasien.