
SEBAGAI negara kepulauan dengan letak geografis yang berada di area Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia menjadi negara yang rawan akan berbagai kejadian bencana. Gempa bumi, tsunami, erupsi, hingga berbagai bencana hidrometeorologi menghantui masyarakat di berbagai penjuru Tanah Air.
Dalam menghadapi berbagai potensi bencana tersebut, peran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjadi sangat krusial. Dengan berbagai teknologi dan bidang keilmuan yang terdapat di dalamnya, BMKG menjadi andalan pemerintah, terutama untuk memberikan layanan Deteksi Dini dan Peringatan Dini Multi-Bahaya Geo-hidrometeorologi, guna mencegah, memitigasi atau mengurangi risiko kejadian bencana.
Bahkan, untuk menjaga keselamatan masyarakat di 25 Negara yang berada di sepanjang Pantai Samudra Hindia dari ancaman bahaya Tsunami Megathrust seperti yang terjadi di tahun 2024, BMKG Indonesia bersama India dan Australia dipercaya dunia untuk mengoperasikan dan menyebarkan Peringatan Dini Tsunami, yang harus disiagakan selama 24 jam 365 hari tiap tahun.
Namun, bukan hanya dalam hal upaya deteksi dini hingga mitigasi bencana. BMKG kini menempatkan diri sebagai lembaga strategis berbasis sains dan teknologi untuk menghasilkan data dan informasi terkait Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, yang menjadi salah satu ujung tombak pembangunan dan kebijakan nasional.
Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, mengatakan data dan Informasi cuaca, iklim dan geofisika yang cepat, tepat dan akurat serta mudah diakses, menjadi salah satu pilar penting dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, terutama di tengah tantangan perubahan iklim global dan meningkatnya potensi multi-bencana dengan berbagai dampaknya, yang cenderung semakin mengarah ke krisis dan gangguan terhadap keberlanjutan sosial-ekonomi dan lingkungan.
"Informasi iklim dan potensi multi bencana geo-hidrometeorologi sangat penting untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Perubahan iklim sebagai ancaman, itu merupakan jangka panjang. Kita masih punya kesempatan untuk mengelola alam Indonesia secara berkelanjutan," kata Dwikorita dalam wawancara dengan Media Indonesia, Sabtu (9/8).
Ia mengatakan, BMKG memiliki peran sebagai garda depan penyedia data cuaca dan iklim strategis yang menopang sektor pangan, energi, air, serta sektor infrastruktur dan lingkungan, sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
“BMKG memproduksi data dan prakiraan cuaca dan iklim jangka pendek, menengah, dan panjang yang sangat penting untuk perencanaan musim tanam, irigasi, serta antisipasi gangguan iklim seperti El Nino atau La Nina,” ujar Dwikorita.
Di sektor pangan, informasi iklim BMKG menjadi input utama kalender tanam Kementerian Pertanian. Di sektor air, lembaga ini menjadi wali data Sistem Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi, dan Hidrogeologi (SIH3) untuk peringatan dini kekeringan.
Sementara di sektor energi, BMKG menyediakan peta potensi energi surya dan angin untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan.
Data dan prediksi cuaca dan iklim BMKG juga dapat dimanfaatkan untuk menyusun pola tanam, mengantisipasi serangan hama/penyakit tanaman, untuk mencegah terjadinya gagal panen, yang berujung pada kelangkaan bahan pokok pangan dan inflasi. Sedangkan, kajian gempa dan tsunami dapat menjadi dasar perencanaan infrastruktur dan tata ruang, penguatan sektor pariwisata, menjaga kestabilan sektor ekonomi, hingga memastikan keselamatan dan kenyamanan transportasi.
Di sisi lain, BMKG melihat potensi bencana saat ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu bumi menjadi salah satu pemicunya.
Dwikorita mengatakan, sejak tahun 1850 sampai 2024, telah terjadi perubahan suhu yang berdampak pada perubahan cuaca yang sampai saat ini menjadi tidak menentu.
“Setelah tahun 1975-1980, terjadi lonjakan kenaikan suhu dengan sangat drastis. Total kenaikan suhu itu di tahun 2024 sudah mencapai batas kesepakatan dalam Paris Agreement yg seharusnya dicapai pada tahun 2100, yaitu 1,5 derajat celsius” ungkapnya.
Kondisi itu membuat peran BMKG menjadi sangat sentral dalam menopang berbagai kebutuhan pemerintah dan masyarakat di berbagai sektor.
Jaga Ketahanan Pangan
Dampak kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celsius yang telah tercatat berdasarkan data dari BMKG seluruh dunia yang dikoordinasikan oleh World Meteorological Organization (WMO), telah menyebabkan anomali curah hujan secara global. Kondisi itu membuat kejadian kekeringan dan banjir itu akan terjadi bersamaan di berbagai belahan dunia.
“Bencana kekeringan dan banjir merata di seluruh dunia akibat dari kenaikan suhu yang sudah 1,5 derajat celsius, bahkan beberapa penelitian menyimpulkan, ini disebut kejadian ekstrem ya dan akan makin sering terjadi serta intensitasnya semakin menguat,” jelasnya.
Dwikorita mencontohkan siklus El Nino La Nina sebelum tahun 1970 terjadi setiap 7 tahunan. Namun setelah tahun 1980, keduanya terjadi antara 3 sampai 5 tahunan.
“Bahkan setelah tahun 2020, La Nina itu terjadi setiap tahun. Tahun 2020, tahun 2021, tahun 2022, terjadi setiap tahun. El Nino ini kira-kira setiap 4 tahun, padahal dulu itu 7 sampai 10 tahun. Jadi siklus anomali yang ekstrem, El Nino itu adalah kering yang ekstrem, sehingga banyak terjadi kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, ketahanan pangan terganggu, kita terpaksa harus impor bahan pangan karena mengalami kekeringan,” urai Dwikorita.
Dwikorita menambahkan bahwa Food and Agriculture Organization (FAO) sejauh ini telah menggunakan data dari WMO atau organisasi meteorologi dunia untuk memetakan tingkat kerawanan negara dalam menghadapi ketahanan dan keamanan pangan.
“Diprediksi pada 2050 sebanyak 500 juta petani yang menghasilkan 80% sumber pangan dunia akan terdampak kekeringan. Lalu Indonesia masa depan bagaimana? Kerawanannya menengah. Diprediksi karena kondisi iklim tadi dan dampak dari perubahan iklim yang mengakibatkan bencana semakin sering terjadi, kekeringan semakin sering terjadi,” ujar Dwikorita.
“Kondisi itu akan membuat munculnya gangguan ketahanan pangan dan bisa menuju ke kelangkaan pangan. Indonesia masa depan itu memang benar-benar harus swasembada pangan. Karena krisis pangan itu global,” lanjutnya.
"Jadi perlu kita sadari bahwa dampak kenaikan suhu hingga mencapai 1.5 derajat Celcius tersebut sangat membahayakan bagi keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Peradaban manusia di planet bumi ini," katanya.
Selanjutnya Dwikorita mengatakan, BMKG telah menganalisis dan memprediksi dengan skenario terburuk (yang mengasumsikan kegagalan dalam upaya mitigasi perubahan iklim), menunjukan bahwa Indonesia di tahun 2100 diprediksi akan mengalami kenaikan suhu sampai 3,5 derajat celsius dibandingkan sebelum revolusi industri. Artinya dengan kenaikan suhu yang diprediksi dapat mencapai 3.5 derajat celcius ini, tentunya akan memberikan dampak yang lebih dahsyat terhadap Lingkungan Hidup dan Peradaban kita
Lindungi dari Gejolak Politik
Selain itu, kejadian El Nino dan La Nina juga dikatakan memiliki korelasi dengan gejolak sosial politik. Seperti pada tahun 1959 ketika terjadi Dekrit Presiden, diawali dengan kejadian El Nino Moderat.
“Kemudian pada 1965 terjadi G30S PKI juga diawali dengan kejadian El Nino Moderat, dilanjutkan dengan kejadian pada 1974 peristiwa Malari terjadi juga diawali dengan kejadian El Nino. Selanjutnya pada 1984 terjadi Penembakan Misterius (Petrus) dan kasus Tanjung Priok diawali dengan El Nino yang kuat, hingga pada Pilkada Serempak 2015-2016 terjadi El Nino yang juga sangat kuat, namun Alhamdulillah berkat info dini dari BMKG tentang El-Nino yang secara empiris berkorelasi dengan potensi dampaknya terhadap gangguan stabilitas sosial politik, maka gejolak sosial politik yang dikhawatirkan dapat dihindari," tuturnya.
Belajar dari sejarah tersebut, di sini BMKG memiliki peran penting untuk ikut menjaga negara dari potensi gejolak politik yang muncul akibat pengaruh fenomena iklim.
Dengan data yang sangat melimpah dan selama puluhan tahun tersebar di seluruh wilayah untuk dianalisis, BMKG bisa memetakan langkah terbaik yang bisa dilakukan untuk memastikan Indonesia terlindungi dari dampak buruk fenomena cuaca, iklim, dan geofisika, salah satunya krisis pangan.
BMKG saat ini tengah berinovasi untuk dapat memprediksi prakiraan iklim yang dapat berpengaruh terhadap kejadian bencana ataupun kondisi sosial ekonomi dan lingkungan untuk 6 bulan sampai 1 tahun sebelum hal itu terjadi.
“Kami juga sudah membina petani sejak 2011 dan nelayan sejak 2016. Sehingga BMKG ke depan, Insya Allah kam...