
SETIAP tahun, jutaan siswa SMA dan sederajat di seluruh Indonesia berdebar menanti hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Bagi sebagian besar, jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) menjadi harapan besar karena tidak perlu tes tulis, melainkan mengandalkan nilai rapor. Namun, di balik semangat itu, muncul persoalan mendasar yang sering luput dari perhatian: apakah rapor benar-benar mampu menjadi alat seleksi yang adil di tengah kompetisi yang begitu ketat?
HOMOGENITAS NILAI RAPOR: SEBUAH DILEMA
Data penerimaan mahasiswa baru tahun 2023 menunjukkan bahwa dari 776 ribu pendaftar SNBP, hanya sekitar 19,4% yang diterima. Artinya, ratusan ribu siswa dengan rapor bagus harus tersisih. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya ialah karena nilai rapor di Indonesia cenderung homogen.
Rata-rata nilai rapor peserta SNBP tercatat 88, dengan simpangan baku hanya 3,5. Itu artinya, sebagian besar siswa berkumpul di rentang nilai 85–91. Dalam istilah statistik, ini disebut distribusi yang 'rapat'. Kondisi ini menimbulkan dilema: bagaimana mungkin menyeleksi ratusan ribu siswa dengan alat ukur yang hampir tidak punya daya pembeda?
Fenomena homogenitas rapor ini bukan tanpa sebab. Ada dorongan kebijakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), tekanan psikologis guru yang ingin menjaga citra sekolah, hingga perbedaan standar antardaerah. Akibatnya, rapor lebih sering menjadi gambaran administratif daripada potret objektif kemampuan siswa.
TES TERSTANDAR: CERMIN YANG LEBIH OBJEKTIF
Sebaliknya, tes terstandar nasional seperti UTBK atau Asesmen Nasional menghadirkan distribusi nilai yang lebih 'jujur'. Rata-rata UTBK nasional berada di angka 500, dengan simpangan baku 100. Artinya, ada siswa yang mendapat nilai 700-an, ada pula yang hanya 300-an. Perbedaan ini menunjukkan variasi kemampuan yang nyata sehingga daya pembeda antarsiswa terlihat jelas.
Hal serupa terjadi pada asesmen numerasi. Rata-rata nasional 57 dengan simpangan baku 9,5 menghasilkan rentang nilai yang bervariasi, dari 40-an hingga 70-an. Data ini lebih objektif karena tidak dipengaruhi standar lokal, melainkan mengukur kompetensi dengan instrumen yang sama di seluruh Indonesia.
MENGAPA TKA PENTING?
Di sinilah urgensi Tes Kemampuan Akademik (TKA) muncul. TKA bukan sekadar ujian tambahan, tetapi juga instrumen penting untuk memvalidasi rapor. Rapor menggambarkan konsistensi belajar siswa selama bertahun-tahun, sedangkan TKA memastikan bahwa nilai tersebut benar-benar merefleksikan kemampuan akademik yang sejati.
Dengan kata lain, rapor adalah bukti konsistensi, TKA merupakan alat verifikasi. Jika seorang siswa selama lima semester selalu meraih nilai 93, maka TKA akan menguji apakah ia mampu menunjukkan performa serupa dalam konteks tes objektif. Kombinasi keduanya akan menghasilkan seleksi yang lebih adil.
MENUJU SISTEM SELEKSI HYBRID
Bayangkan sebuah sistem seleksi yang tidak hanya menilai rapor, tetapi juga mempertimbangkan hasil TKA. Ada beberapa model yang bisa diterapkan. Pertama, bobot seimbang (50:50). Rapor mencerminkan konsistensi, TKA mencerminkan daya pembeda. Keduanya diberi porsi seimbang. Kedua, model kompensasi. Nilai rapor tinggi bisa membantu, tetapi jika nilai TKA rendah, peluang otomatis berkurang signifikan. Ketiga, model verifikasi. Rapor dijadikan dasar utama, tetapi hanya siswa dengan nilai TKA di atas ambang batas tertentu yang berhak lolos.
Apa pun model yang dipilih, prinsip dasarnya sama: seleksi harus adil, transparan, dan mampu membedakan kemampuan siswa secara objektif.
MENGATASI KERAGUAN PUBLIK
Sebagian pihak mungkin khawatir bahwa TKA akan menambah beban siswa. Kekhawatiran itu wajar, tetapi justru TKA bisa mengurangi potensi ketidakadilan akibat inflasi nilai rapor. Dengan TKA, siswa yang benar-benar memiliki kemampuan akademik mumpuni akan tetap mendapat peluang meski berasal dari sekolah dengan standar penilaian longgar. Sebaliknya, siswa dari sekolah dengan standar ketat tidak akan dirugikan karena nilainya ‘tampak lebih rendah’ ketimbang sekolah lain.
Lebih jauh lagi, TKA dapat menjadi alat pemetaan pendidikan nasional. Hasil TKA tidak hanya berguna untuk seleksi masuk perguruan tinggi, tetapi juga menjadi bahan evaluasi kualitas pendidikan di berbagai daerah.
PENTINGNYA MERITOKRASI DALAM PENDIDIKAN
Dalam era persaingan global, pendidikan kita dituntut untuk menegakkan meritokrasi—bahwa prestasi dan kemampuan nyata harus menjadi dasar utama seleksi. Sistem yang hanya mengandalkan rapor rawan bias dan membuka ruang ketidakadilan. Sebaliknya, sistem yang menggabungkan rapor dan TKA akan lebih kokoh karena berdiri di atas fondasi konsistensi sekaligus validasi. Dengan cara tersebut, masa depan siswa tidak ditentukan oleh standar penilaian subjektif semata, melainkan oleh kemampuan yang benar-benar terukur.
PENUTUP: SAATNYA BERGERAK KE DEPAN
Sudah saatnya kita meninggalkan paradigma lama yang hanya mengandalkan satu instrumen seleksi. TKA hadir bukan untuk meniadakan rapor, melainkan untuk melengkapinya. Keduanya ibarat dua sisi mata uang: rapor menunjukkan proses, TKA menunjukkan hasil objektif.
Jika Indonesia ingin memiliki sistem seleksi yang berkeadilan, transparan, dan bermartabat, maka kombinasi rapor dan TKA adalah jawabannya. Dengan langkah ini, kita tidak hanya memberi peluang yang sama bagi seluruh siswa, tetapi juga membangun kepercayaan publik bahwa seleksi nasional benar-benar mencerminkan kualitas yang sesungguhnya.
Masa depan pendidikan Indonesia ada di tangan generasi muda. Mari kita pastikan bahwa kesempatan mereka untuk masuk perguruan tinggi negeri ditentukan oleh kerja keras dan kemampuan nyata, capaian prestasi yang konsisten selama lima semester dan terkonfirmasi oleh penilaian eksternal yang objektif.