Liputan6.com, Jakarta - NASA mengumumkan target ambisius untuk mulai mengoperasikan reaktor nuklir di Bulan pada tahun 2030.
Proyek ini dinilai sebagai langkah strategis dalam persaingan membangun infrastruktur luar angkasa, di mana keberhasilannya dapat memberi pengaruh besar terhadap posisi sebuah negara di masa depan.
Mengutip The Conversation, Rabu (14/8/2025), rencana tersebut bukanlah ide yang baru muncul.
NASA bersama Departemen Energi Amerika Serikat telah menginvestasikan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan sistem tenaga nuklir berukuran kecil yang dirancang agar mampu menopang basis penelitian, operasi penambangan, hingga habitat permanen di permukaan Bulan.
Momentum ini semakin memanas setelah pada April 2025, Tiongkok merilis rencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Bulan pada 2035. Sebagai respons, AS mempercepat ambisinya.
Acting Administrator NASA, Sean Duffy, menegaskan bahwa reaktor buatan AS diproyeksikan beroperasi lima tahun lebih cepat dari pesaingnya, menandai babak baru perlombaan teknologi luar angkasa.
Payung Hukum dan Implikasi Politik
Penggunaan tenaga nuklir di luar angkasa ternyata tidak melanggar hukum internasional.
Sejak era 1960-an, AS dan Uni Soviet telah memanfaatkan generator radioisotop untuk menyuplai daya pada satelit, wahana penjelajah Mars, hingga misi antariksa jarak jauh seperti Voyager.
Resolusi PBB tahun 1992 bahkan secara eksplisit mengakui bahwa tenaga nuklir bisa menjadi satu-satunya opsi pada misi di mana energi surya tidak memadai.
Meski demikian, aturan internasional memberikan penekanan pada standar keselamatan, transparansi, serta konsultasi antarnegara sebelum peluncuran atau penempatan fasilitas nuklir di luar Bumi.
Dalam konteks Perjanjian Luar Angkasa 1967, setiap negara wajib memperhatikan kepentingan pihak lain, sehingga penempatan reaktor di Bulan dapat memengaruhi aktivitas negara lain di wilayah sekitarnya.
Infrastruktur semacam ini memang bukan klaim teritorial, tetapi tetap memberi pengaruh signifikan terhadap kontrol akses dan operasional.
Mengapa Reaktor Nuklir Penting?
Kutub selatan Bulan menjadi titik strategis yang banyak diincar karena diyakini menyimpan cadangan es air di dalam kawah yang tidak pernah tersinari matahari.
Sumber daya ini berpotensi diolah menjadi bahan bakar roket, pasokan air minum, hingga oksigen bagi misi jangka panjang.
Keterbatasan tenaga surya di Bulan, yang mengalami siklus siang dan malam masing-masing selama 14 hari, membuat pembangkit listrik berbasis nuklir menjadi pilihan lebih stabil.
Di beberapa kawah, cahaya matahari bahkan tidak pernah masuk, sehingga panel surya tak dapat digunakan sama sekali.
Reaktor nuklir kecil mampu bekerja tanpa henti selama satu dekade, menyuplai energi untuk habitat, kendaraan penjelajah, printer 3D, hingga sistem pendukung kehidupan.
Teknologi ini juga akan menjadi kunci keberhasilan misi ke Mars, di mana intensitas sinar matahari lebih rendah dibanding Bulan.
Tantangan dan Peluang
Pembangunan reaktor nuklir di Bulan bukan tanpa hambatan. Risiko radiasi menjadi perhatian utama, terlebih di lingkungan luar angkasa yang penuh ketidakpastian seperti suhu ekstrem, debu bulan yang abrasif, hingga potensi gangguan dari aktivitas meteorit.
Meskipun begitu, panduan resmi PBB telah menetapkan protokol keselamatan yang sangat ketat, mulai dari desain teknis hingga prosedur darurat, yang apabila diikuti dengan disiplin dapat secara signifikan menekan risiko tersebut.
Para ahli menekankan proyek ini tidak boleh dilihat sebagai perlombaan senjata, melainkan kompetisi membangun infrastruktur strategis yang akan membentuk masa depan eksplorasi Bulan.
Negara pertama yang berhasil mengoperasikan fasilitas vital ini berpotensi menetapkan standar teknis, etika, dan hukum yang akan memengaruhi aktivitas di Bulan selama beberapa dekade mendatang.