Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bakal menunjuk exchanger atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi kripto.
“Exchanger luar negeri ini nanti akan kami tunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (Kepdirjen), sama seperti PPMSE dalam negeri,” kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama dalam taklimat media dikutip di Jakarta, Jumat.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025, diatur bahwa PPMSE yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah platform yang telah memenuhi kriteria tertentu atau memilih untuk ditunjuk sebagai pemungut pajak.
Adapun kriteria tertentu yang dimaksud terdiri dari dua ketentuan, yaitu nilai transaksi dengan pemanfaat jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi aset kripto melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan; dan/atau jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan.
Penunjukan beserta kriteria dan administrasinya akan dituangkan lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen).
Sedangkan pada PPMSE yang tidak ditunjuk menjadi pemungut PPh 22, maka penjual melakukan penyetoran dan pelaporan secara mandiri.
Pemerintah pun menetapkan besaran tarif PPh 22 yang berbeda antara pemungutan di PPMSE dalam negeri dan luar negeri.
Untuk PPMSE luar negeri ditetapkan tarif PPh 22 sebesar 1 persen, lebih tinggi dari tarif dalam negeri sebesar 0,21 persen.
“Dulu kami tidak mengatur yang dari luar negeri, kami hanya atur Bappebti dan non-Bappebti. Sekarang kami atur bahwa exchanger luar negeri justru dikenakan 1 persen. Tujuannya apa? Biar teman-teman kalau beli di exchanger dalam negeri saja, lebih murah. Ini usulan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kami terima dengan baik karena berpihak kepada exchanger dalam negeri,” jelas Yoga.
Ia memastikan pihaknya telah menerapkan meaningful participation dengan melibatkan pelaku industri dalam menerapkan kebijakan pajak kripto.
“PMK-nya memang baru muncul, tapi kalangan industri sudah kami ajak diskusi lama. Mereka tanya kapan PMK terbit, karena mereka perlu untuk mengubah sistem atau proses bisnis. Jadi, mereka pun sudah menyiapkan,” tutur Yoga.
Baca juga: Dirjen Pajak harap sinergi dengan ESDM bisa benahi pajak migas
Baca juga: DJP kejar pajak dari integrasi NIK di Digital ID milik Dukcapil
Baca juga: DJP: Potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.