Liputan6.com, Jakarta Lulus sebagai dokter spesialis obstetri dan ginekologi pada 2020 dari Universitas Airlangga, Amira Ali Abdat memilih jalan dengan mengabdikan diri untuk memberikan pelayanan kesehatan perempuan di Fakfak, Papua Barat.
Tantangan yang ia hadapi selama di sana tidak mudah. Bukan cuma akses jalan dan fasilitas kesehatan yang terbatas, Amira juga harus menghadapi tantangan besar dalam akses komunikasi.
Padahal, sebagai dokter obstetri dan ginekologi satu-satunya di Fakfak ia harus masuk ke area pedalaman yang tidak ada sinyal telepon.
Nyatanya, Amira bukan cuma dokter ia juga adalah anak. Amira yang sudah 12 tahun tinggal jauh dari ayah dan ibu akan menelpon saat harus bertugas di pedalaman yang tak ada sinyal.
"Ketika saya mau berangkat bertugas ke tempat yang tidak ada sinyal, saya selalu menelepon mama saya dan saya mengatakan, "Ma, Mira pergi dulu mohon doanya'," cerita Amira dalam seminar nasional bertajuk “Menakar Kebutuhan dan Realitas: Seberapa Banyak Indonesia Membutuhkan Dokter yang Berkualitas?” pada 25 Juli 2025.
Sinyal telepon yang terbatas, membuat Amira kadang harus menahan rindu ke ayah dan ibunya. Bahkan sinyal Edge yang merupakan teknologi jaringan seluler generasi kedua sulit ia dapatkan.
Jika ada sinyal E, kadang harus terputus di tengah perbincangan karena sinyal hilang.
"Saya hanya telepon mama, saya bilang 'Ma, Mira baik-baik saja kok. Aman'. Baru saya mau menanyakan bagaimana kabar mama tapi telepon sudah mati karena sinyal putus," katanya.